This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Perdagangan Karbon

Diantara sebagian besar manfamnya saat ini muncul paradigma baru tentang peran hutan sebagai penyimpan karbon. Disebutkan bahwa biomas pohon dan vegetasi di hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh mahluk hidup di muka bumi.
Emisi (buangan) industri merupakan sumber kerusakan utama terbentuhya karbon di atmosfir yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi ("global warming") dan perubahan iklim. "Kyoto Protokol 1997" dengan United Nation Framework Convention on Climate Change-nya membuat suatu mckanisme baru dimana negara-negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga tedadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah besar karbon.
Proyek seperti ini mempunyai peluang yang cukup menarik bagi sejumlah masyarakat yang percaya bahwa upaya konservasi hutan tropis akan sulit dilakukan jika, seperti haInya layanan masyarakat, manfaat terhadap lingkungan tersebut fidak dinilai secara layak dengan uang atau melalui sistem pembayaran.
Kebanyakan penelitian tentang isu ini difokuskan pada aspek teknis kelayakan perdagangan karbon, seperti metodologi pengukuran karbon dan proyek penghitungan biaya penurunan emisi. Sebaliknya, pada tahun 1998,CIFOR menjajaki berbagai isu sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan perdagangan karbon - bidang yang sampai sejauh ini mendapat sedikit perhatian.
Pada tahun 1998, CIFOR mengadakan kerjasama dengan Universitas Maryland untuk menyusun suatu kerangka dasar bahan dialog international yang akan mempertimbangkan proyek carbon sequestration dan merancang suatu pedoman yang menjamin bahwa proyek tersebut akan memberikan dampak positif dari segi sosial dan lingkungan. Tidak seperti kebanyakan gagasan kebijakan lainnya di bidang ini, dialog juga akan melibatkan pandangan beberapa perwakilan berbagai kelompok yang berurusan langsung dengan pemanfaatan hutan tropis.
Hasil konferensi akan memberikan informasi penting tentang latar belakang upaya yang akan dilakukan pada tahun 2000 untuk menentukan mekanisme penerapan "carbon sequestration" sesuai Kyoto Protocol. Temuan ini juga diharapkan menarik banyak perhatian lembaga-lembaga pengembangan kehutanan, lingkungan dan ekonomi yang terlibat dalam isu kebijakan penting ini.
Dengan bantuan dana dari Agency for International Development atau Badan Pembangunan Internasional, USA, pada tahun 1998 CIFOR melakukan dua buah kajian yang diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jauh yang bermanfaat bagi para penanam modal serta tuan rumah untuk merencanakan dan mempromosikan penggunaan gagasan "carbon sequestration" ini. Di kedua proyek ini, para, ilmuwan CIFOR bekerjasama dengan para peneliti dari Tropical Agronomy Teaching and Research Centre (CATIE) dan Centre for Social and Economic Research on the Environmental (CSERGE) pada University College London.
Studi pertama menyelidiki tentang dampak program nasional inovatif di Costa Rica yang memberikan pembayaran periodik kepada para pemilik lahan swasta untuk menyerahkan haknya kepada pemerintah dalam rangka "menjual" jasa lingkungan dari lahan hutan yang mereka miliki (termasuk penyimpanan karbon). Peneliti melakukan wawancara dengan para pemilik lahan hutan dan lainnya di Kawasan Konservasi Pusat Cordillera Volcanica yang tercakup dalam program tersebut. Sejumlah kriteria dan indikator ekologi, sosial dan ekonomi direncanakan dengan tujuan untuk menganalisa persepsi tentang manfaat kegiatan permudaan dan perlindungan hutan serta pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan yang tercakup dalam program kompensasi ini dibandingkan. dengan alternatif pemanfaatan lahan yang ditawarkan pada umumnya yaitu peternakan secara. ekstensif
Para peneliti menemukan bahwa program di Costa Rica ini menawarkan suatu model yang memudahkan negara tuan rumah untuk mengambil keuntungan dari kesempatan tersedianya dana yang dapat diperoleh melalui perdagangan karbon tanpa harus merusak rencana tata guna lahan secara nasional. Bagaimanapun juga mereka mengingatkan bahwa model tersebut mungkin tidak sesuai bagi negara yang sangat miskin (tidak seperti Costa Rica) dimana mereka tidak mampu untuk memungut pajak dari masyarakat untuk membiayai program tersebut, atau bagi negara yang upaya konservasi hutannya tidak mendapatkan prioritas nasional yang tinggi.
Studi yang kedua dirancang untuk menentukan motivasi dan. kepedulian yang mempengaruhi suatu. keputusan untuk ikut berperan serta dalarn proyek penyimpanan karbon. Mereka yang diwawancara adalah 27 investor pionir terkemuka di bidang perdagangan pelayanan penyimpanan karbon, termasuk investor, perantara (broker), pengembang proyek, pengelola dana dan lembaga pernerintah di United States, United Kingdom dan Eropa.
Meskipun hasil survey mengindikasikan bahwa hubungan masyarakat merupakan alasan utama untuk ikut serta dalam program perdagangan karbon ini, namun efektifitas biaya tetap menjadi pertimbangan utama yang penting. Hasil ternuan. menyatakan bahwa pendekatan yang di dorong oleh pasar secara. murni tanpa adanya aturan. cenderung mengutamakan efisiensi penggunaan karbon dan mengabaikan pertimbangan. sosial dan lingkungan. Meskipun demikian tampak pertanda yang cukup menggembirakan bahwa para investor pionir memperhatikan kepentingan. manfaat sosial dan lingkungannya.
Berdasarkan studi yang dilakukan, para peneliti menyimpulkan bahwa penilaian tahap awal perdagangan karbon yang dianggap merupakan pernecahan "win-win" (menguntungkan kedua belah pihak) bagi seluruh stakeholder mungkin dianggap terlalu optimis. Hasil analisa yang dilakukan menunjukkan beberapa kondisi dimana proyek penyimpanan karbon di bidang kehutanan ini mungkin sesuai untuk diterapkan. Disamping itu mereka juga menyoroti beberapa aspek pengamanan yang mungkin diperlukan. (Sumber : http://www.cifor.org)

Jeram Gelar Diskusi Akhir Tahun

Membangun Kesadaran Masyarakat Melalui Diskusi Kecil
(Diskusi bersama siswa SMA)

  


Berbagai kegiatan dilakukan oleh Jelajah Rimba Sekayam (Jeram) pada setiap tahun nya, baik itu bhakti lingkungan maupun penanaman pohon. Namun kali ini Jeram melakukan diskusi bersama siswa SMA Negeri 1 Sekayam, kegiatan satu hari yang mengusung tema membangun kepedulian masyarakat terhadap lingkungan ini diikuti oleh sebanyak 20 siswa. "Kegiatan diskusi ini merupakan agenda akhir tahun yang berbeda dari biasanya, karena pada akhir tahun sebelumnya melakukan penanaman dan bhakti lingkungan.” Ucap Dodoy selaku Ketua Umum Jeram (13/12).  Dia juga mengatakan, bahwa melihat kondisi lingkungan hari ini yang kian memprihatinkan, sehingga menuntut perlu membangun  sebuah kesadaran yang berawal dari diskusi kecil terkait kepedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan, baik itu di masyarakat maupun di sekolah-sekolah katanya. Organisasi penggiat alam bebas yang dulunya menyandang nama KPA Rajawali ini telah lama terbentuk, dan pada hari jadinya yang ke-6, dalam musyawarah besar (Mubes) tahun 2013 disepakati pergantian nama serta lambang organisasi menjadi Jelajah Rimba Sekayam (Jeram). “Kita mengganti nama organisasi namun tidak merubah visi dan misi.” Katanya. Karena, menurut Ketua Jeram. Organisasi penggiat alam bebas ini adalah wadah kecil bagi masyarakat yang memiliki hoby untuk mendaki gunung dan menjelajah alam terbuka, disamping itu organisasi ini juga memiliki program kerja. “Saat ini memang tidak banyak yang dapat kami lakukan, ini terkait biaya dan waktu. Namun kami sebisanya memulai dari hal-hal yang kecil, misal seperti diskusi ini.” Ketua Jeram berharap, melalui wadah penggiat alam bebas ini mampu untuk berkontribusi di masyarakat. Semoga dengan sering nya kita berdiskusi diharapkan tidak melupakan apa yang telah kita ucapkan, dengan demikian kesadaran akan timbul sendirinya melalui proses tadi.

Menhut Anjurkan Setiap Orang Tanam 10 Pohon



Zulkifli Hasan (Menhut)


Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan menganjurkan setiap orang menanam minimal 10 pohon sepanjang hidupnya agar udara dan air yang diambil manusia dari alam bisa dikembalikan.

"Apakah kita cukup mandi dengan seliter air setiap hari? Tidak. Untuk mandi kita butuh berliter-liter air, belum lagi untuk minum hingga mencuci. Kalau kita hanya tanam satu pohon itu belum impas," kata Menhut saat memberi kuliah perdana di depan sekitar 4.000 mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), di Jakarta, Sabtu.

Setiap pohon, urainya, bisa menyimpan rata-rata 24 ton karbon per bulan dan 10 liter air per hari, sementara manusia membutuhkan kira-kira 10 kalinya agar udara tetap bersih dan air tetap tersedia.

Sumber : ANTARA News

Perubahan Iklim Mampu Tenggelamkan Pulau Kecil di Indonesia

Pulau Puteri berbatasan dengan Singapura yang nyaris tenggelam (Foto-Antara)


Perubahan iklim telah menjadi isu global, dan Indonesia pun kini ikut merasakan dampaknya.

Menurut Ratri Sutarto Pramestyo, Program Manager Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCRN) MercyCorps, pemerintah Indonesia telah menyadari adanya perubahan iklim.

"Sekarang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah membuat Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, dan beberapa institusi lainnya," kata Ratri pada VIVAnews, ditemui di GREAT Britain Week “Science & Innovation” Day, Jakarta, 17 September 2013.

Dia mengatakan, dampak perubahan iklim yang nyata adalah kemunculan banjir rob —diakibatkan oleh air laut yang pasang menggenangi daratan— seperti di Semarang dan Jakarta.

"Banjir rob semakin sering terjadi. Di Semarang dulu banjir rob datang sehari hanya sekali, tapi sekarang banjir rob datang sehari bisa beberapa kali," terang Ratri.

Ratri juga menyampaikan, daerah-daerah terdampak dari perubahan iklim adalah daerah-daerah kepulauan dan pesisir. Kemungkinan besar pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia mulai tenggelam. "Dan, sudah banyak pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni kemudian tenggelam," paparnya.


Saat ini Mercy Corps sudah melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk memikirkan masalah-masalah perubahan iklim. Mercy Corps punya alat untuk melihat dampak perubahan iklim yang namanya Kajian Kerentanan.

"Nantinya, kajian ini akan dipakai untuk mengidentifikasikan masalah-masalah yang ada di kota-kota, yang disebabkan oleh perubahan iklim dan tentunya memberikan solusi-solusinya," jelas Ratri.

Ratri menambahkan, RAN-API akan menjadi roadmap untuk tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim di kota-kota dan provinsi-provinsi di Indonesia.

"Namun, sekarang kendalanya adalah pemerintah kota tidak semuanya tahu, apa itu perubahan iklim secara konsep dan bagaimana cara mengantisipasinya. Mereka masih butuh dukungan dari nasional," ujar Ratri.


Sumber : VIVAnews 

Karbon Dioksida Dalam 20-30 Tahun Akan Mengantarkan Bumi Pada Cuaca Yang Sangat Panas.


 Kiribati, Negara kepulauan di Pasifik


Para pakar iklim terkemuka di dunia mengeluarkan peringatan keras bahwa dalam dua atau tiga dekade dari sekarang akan terjadi pemanasan global yang dahsyat, yakni kategori lebih dari dua derajat Celcius secara rata-rata.

Dampaknya tidak main-main. Menurut para pakar, kategori itu bisa mengakibatkan naiknya tingkat permukaan air laut, memunculkan gelombang panas, kekeringan, dan perubahan cuaca yang lebih ekstrim.

Dilansir Guardian, 30 September 2013, kondisi ekstrim itu sangat mungkin terjadi jika warga dunia terus memancarkan gas rumah kaca. Akumulasi karbon dioksida saat ini dalam 20-30 tahun akan mengantarkan cuaca Bumi yang sangat panas.

Pada laporan panel pakar iklim, yang tergabung dalamIntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), berjumlah 2.000 halaman itu ditegaskan bahwa pemanasan global yang terjadi hari ini merupakan akibat dari tindakan manusia di masa lalu.

Panel pakar itu menambahkan, jika tak ada upaya yang prinsipil dan berkelanjutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka negara-negara dunia akan melanggar ambang batas pemanasan 2 derajat Celcius, yang sebelumnya sudah menjadi kesepakatan bersama.

Untuk itu, Sekjen PBB Ban ki-Moon mendesak para pemimpin dunia untuk memperhatikan peringatan otoritas perubahan iklim. Ia juga mendesak agar terwujud kesepakatan global baru guna memotong emisi. "Pemanasan global sedang berjalan. Sekarang kita harus bertindak," tegas Ban.

Bukan Omong Kosong

IPCC membantah kritikan yang menyatakan hitungan peningkatan suhu dalam 10-15 tahun adalah kesalahan dalam model komputer mereka. Para pakar membuktikan dengan adanya fakta perubahan iklim.

"Tiga dekade terakhir, permukaan Bumi benar-benar bertambah panas dibandingkan tiap dekade sebelumnya sejak 1850. Di belahan Bumi utara pada 1983-2012 adalah kemungkinan periode 30 tahun terpanas dalam 1.400 tahun terakhir," ujarnya.

Jika tidak ada tindakan yang nyata, para pakar mengatakan, bukan sesuatu yang mustahil jika terjadi bencana dahsyat dalam 3-6 dekade ke depan. Di tahun 2100, kemungkinan akan menjadi lebih buruk, Bumi akan menembus ambang batas pemanasan 5 derajat Celcius.



Namun demikian, laporan panel yang mendapat sorotan lebih yaitu soal anggaran atau kuota karbon. 

Ilmuwan menemukan, untuk menghentikan pemanasan kategori 2C, total emisi karbon tidak boleh melebihi 1.000 gigaton karbon. Sayangnya, pada tahun 2011 silam, emisi sudah mencapai 541 gigaton, sudah lebih dari setengah ambang batas. 

Pembatasan anggaran karbon itu juga menjadi ujian bagi negara-negara dunia. Pasalnya, isu ini sangat sensitif dibicarakan di PBB. Sementara kesepakatan global soal soal emisi karbon sudah ditargetkan rampung pada 2015 mendatang.

Alotnya pembahasan ini juga dilatarbelakangi kekhawatiran negara-negara tertentu yang takut penentuan batas karbon emisi menyimpan agenda politik.


Sumber : VIVAnews

Tapal Batas 2013


Jika diantara kita belum begitu mengenal Desa Palapasang, maka kami dari Jelajah Rimba Sekayam (Jeram) beserta Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam (Gempa) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, akan membawa anda menjelajahi dari sudut pandang masyarakat sosial bagaimana kehidupan dan kesejahteraan disana setelah Indonesia merdeka hingga hari ini. Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 tahun 2013, Jelajah Rimba Sekayam (Jeram) ikut dalam memperingati perayaan tersebut di Desa Palapasang, Kecamatan Entikong yaitu wilayah terdepan negeri ini yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Malaysia). Kegiatan peringatan hari kemerdekaan tersebut diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam (Gempa) Fisipol Untan.yang kemudian melakukan serangkaian kegiatan sosial bagi masyarakat setempat. Secara geografis, Desa Palapasang terletak pada wilayah administratif Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, atau berbatasan langsung dengan negara tetangga Kuching (Sarawak Malaysia).

Riam Benyawai Menuju Desa Palapasang

Jalur Satu-satunya Menuju Desa Palapasang, Kecamatan Entikong

Adapun akses satu-satunya menuju desa tersebut adalah melalui jalur sungai, yaitu sungai Sekayam dengan jarak tempuh bervariasi, jika musim penghujan atau debit sungai tinggi maka jarak tempuh mencapai 3 jam perjalanan, namun jika debit sungai rendah atau pada musim kemarau, maka jarak tempuh menjadi 4 atau 5 jam perjalanan, hal ini dipicu oleh jalur yang ekstrim dengan banyak melalui riam serta mendangkalnya sungai. Bagi masyarakat setempat, hal tersebut bukanlah masalah meski terkadang satu sisi akan menjadi persoalan. Masyarakat yang mayoritas mengandalkan hasil pertanian ini memang sangat bergantung pada debit sungai, karena musim kemarau dapat menghambat terjualnya hasil pertanian mereka ke kota kecamatan Entikong. Namun demikian masyarakat yang memiliki akses terdekat ke Malaysia ini dapat menempuh waktu 2 jam perjalanan melalui perbukitan dan jalan setapak, menembus tapal batas dua belah negara. Palapasang merupakan daerah yang subur, sangat cocok untuk pertanian melihat geografis wilayah yang berada dibawah pegunungan Panrisen Jaya atau lebih dikenal oleh Malaysia sebagai puncak Borneo, meski demikian kehidupan masyarakat tergolong sederhana dan bersahaja. Bantuan-bantuan pemerintah telah mencapai pedesaan ini, seperti bantuan PLTH (Pembangkit Listrik Tenaga Hydro), Air minum bagi masyarakat dari pegunungan yang dialiri ke rumah-rumah warga dan tersedianya Pos Kesehatan dari Puskesmas Kecamatan Entikong serta berdirinya Sekolah Dasar Negeri (SDN). Kesulitan bagi masyarakat yang sangat menghambat bagi pembangunan adalah akses menuju Desa atau sebaliknya (menuju kota Kecamatan) mengingat satu-satunya andalan yang dapat ditemuh adalah sungai Sekayam dimana memiliki banyak riam dan sebagai jalur ekstrim bagi masyarakat. Tidak ada pilihan lain untuk tidak melewati jalur tersebut, dengan ini masyarakat berharap pemerintah dapat segera membuka akses darat yang mana dapat ditempuh tidak terlalu jauh dan ekstrim.

Kepulangan Tim Ekspedisi

Hampir setiap tahunnya Desa Palapasang menerima sebanyak 300 daftar tamu yang hadir, ini dilihat dari data yang dimiliki oleh Kepala Dusun Palapasang yang disampaikan pada tim Gempa Fisipol Untan dan Jeram yang bertandang kerumah beliau. Dengan kepentingan yang berbeda, dari kegiatan mahasiswa hingga lembaga lainnya, jelas Palapasang merupakan daerah yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar, kearifan lokal budaya setempat menjadi daya tarik masyarakat luar. Hal-hal seperti pendidikan, kesehatan, akses menuju desa mesti menjadi prioritas pembangunan disana, sehingga pencapaian serta kesejahteraan dapat terukur pada wilayah lain. Hal yang sangat memprihatinkan saat ini adalah hak untuk mendapatkan pendidikan bagi anak-anak yang ada di desa tersebut, hal ini diungkapkan oleh Kepala Dusun Palapasang bahwa ketidakhadiran para pendidik menjadi hambatan bagi siswa, minat belajar sangat tinggi namun guru-guru sering tidak hadir.

Permainan Dalam Rangka Hari Kemerdekaan Bersama Siswa Sekolah Dasar Palapasang

Dari enam guru yang mengabdi disana hanya dua atau satu orang saja yang mengajar dengan pengawasan 6 ruangan. Jelas ini tidak efektif, meski tokoh msayarakat beserta orang tua murid telah berupaya mendatangi Dinas Pendidikan Entikong, namun hal ini tidak begitu direspon, buktinya saat tim Ekspedisi bertandang ke desa tersebut masih ditemukan guru-guru yang tidak hadir, terlebih lagi Kepala Sekolah yang hanya datang setiap akhir bulan saja. Bagaimana nasib pendidikan bagi anak-anak disana jika terus seperti ini. (dj)

Pembinaan Sispala



Pembukaan Kegiatan Diklatsar Sispala Hijau (Perintis) SMA Negeri 1 Sekayam



Peserta Diklatsar Sispala Hijau (Perintis) SMA Negeri 1 Sekayam



Sispala Hijau (Perintis) SMA Negeri 1 Sekayam



Sispala Hijau (Tapak Entiti) angkatan ke-2 SMA Negeri 1 Sekayam



Sispala Hijau (Tapak Entiti) angkatan ke-2 SMA Negeri 1 Sekayam usai penyematan slayer




Jelajah Rimba Sekayam (Jeram) dalam eksistensi nya di tengah masyarakat melakukan berbagai upaya pembinaan, diantaranya adalah pembinaan terhadap Siswa Pecinta Alam (Sispala Hijau) SMA Negeri 1 Sekayam. Pembinaan Sispala Hijau bermula dari pembentukan ekstrakurikuler oleh pihak sekolah pada tanggal 2 Oktober 2011, dalam masa perjalanan nya sejak terbentuk, Sispala Hijau kerap melakukan kegiatan bersama Jeram diantaranya Peringatan Hari Bumi, Bhakti dan Pembibitan di lingkungan sekolah. Hal ini disambut baik oleh pihak Sekolah, namun dalam usia perjalanan yang baru berjalan dua tahun, Sispala Hijau telah menghasilkan dua angkatan, yaitu angkatan pertama (Perintis) berjumlah 8 orang, dan angkatan ke dua (Tapak Entitik) berjumlah 19 orang siswa. Jeram berharap terbentuknya Sispala Hijau di lingkungan sekolah dapat memberi nuansa baru bagi siswa lainnya terkait gerakan lingkungan, semoga cikal bakal kader-kader konservasi ini mampu memberi sumbangsih nya terhadap sekolah, serta masyarakat pada umumnya. Pecinta alam bukanlah hanya sekedar klaim terhadap organisasi yang berorientasi terhadap pendakian dan pemanjatan tebing, namun pecinta alam disini  dapat mengimplementasikan segala pengetahuan baik itu terkait lingkungan hidup dan konservasi, atas kerusakan-kerusakan yang terjadi. Tentunya dimulai dari lingkungan terkecil, dari diri kita hingga ke masyarakat luas. Pembinaan terhadap Sispala Hijau ini merupakan wujud kepedualian Jeram terhadap aksi lingkungan di sekolah (go green), tidak hanya sampai disitu. Sispala diharapakan dapat menjadi kader lingkungan (konservasi) nantinya di masyarakat dengan bekal ilmu pengetahuan yang meraka peroleh. Tentu mambawa dampak positif bagi mereka sendiri yang mana nantinya tumbuh kesadaran dari masing-masing anggota. (Dj)

Protokol Kyoto



Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah 

atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.


Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003)

Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Ia dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.

Detil Protokol
Menurut rilis pers dari Program Lingkungan Hidup PBB:
"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."
Protokol Kyoto adalah protokol kepada (UNFCCC, yang diadopsi pada pertemuan bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.
Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.

Status persetujuan

Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Negara-negara tidak perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Daftar terbaru para pihak yang telah meratifikasinya ada di sini.
Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, ia mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan." Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2005 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005.

Status terkini para pemerintah

Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumanis dan Bulgaria.
Ada dua negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol tersebut:
·        Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi)
·        Kazakstan

Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut seta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera tersebut.

Indonesia Termasuk Dalam Perjanjian Biodiversitas




          Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan, adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di bumi atau bagian dari Bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang berlebihan. Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
          Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Merujuk pada definisi diatas, maka lingkungan hidup Indonesia tidak lain merupakan wawasan Nusantara, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya. Secara hukum maka wawasan dalam menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah wawasan nusantara.
          Indonesia termasuk dalam perjanjian Biodiversitas, perubahan iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon, Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah, Perubahan Iklim - Protokol Kyoto (UU 17/2004), Perlindungan Kehidupan Laut (1958) dengan UU 19/1961.
          Masalah lingkungan hidup di Indonesia adalah bahaya alam yaitu banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung lumpur, tanah longsor,limbah industri, limbah pariwisata, limbah rumah sakit. Masalah Lingkungan hidup di Indonesia saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke 3 di dunia); asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur; hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara.

          Hari Lingkungan Hidup Sedunia ditetapkan dalam sidang umum PBB tahun 1972 untuk menandai pembukaan Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm. Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 5 Juni untuk meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan lingkungan yang positif. Hari Lingkungan Hidup se-Dunia merupakan instrumen penting yang digunakan PBB untuk meningkatkan kesadaran tentang lingkungan dan mendorong perhatian dan tindakan politik di tingkat dunia. Sebagai milik seluruh masyarakat, hari peringatan ini memberi kesempatan kepada semua orang untuk menjadi bagian aksi global dalam menyuarakan proteksi terhadap planet bumi, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan serta gaya hidup yang ramah lingkungan. Hari itu adalah hari di mana Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup manusia dimulai. Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia adalah pada tanggal 5-16 Juni 1972 yang didirikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1972.

Pemanasan GLOBAL




Pemanasan Global (global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presiptas. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya glester, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Penyebab pemanasan global

- Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

 

- Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafros) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan di atom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

 

Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

 

Mengukur pemanasan global

Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuwan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Satasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.

Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat. Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca pada masa depan, sensitifitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim. Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emission Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

Dampak pemanasan global

Para ilmuwan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

 

Iklim mulai tidak stabil 

Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.

 

Peningkatan permukaan laut 

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greendland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

 

Suhu global cenderung meningkat 

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jikasnowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

 

Gangguan ekologis 

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

 

Dampak sosial dan politik 

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan mulnitrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, mulnitrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian demam berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes aegypti), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernapasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

 

Perdebatan tentang pemanasan global 

Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan pada masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan suhu. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuwan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisis baru tentang suhu air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

 

Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global pada masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim pada masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

 

 

Menghilangkan karbon 

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumipada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan emergi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.

 

Persetujuan internasional 

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Jeneiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar Negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apabila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.