Pemanasan Global (global warming) adalah
suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ±
0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyimpulkan bahwa, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak
pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia, melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan
akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih
terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan
beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC
menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga
11.5 °F) antara tahun 1990
dan 2100. Perbedaan angka
perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai
emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas
iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode
hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus
berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca
telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan.
Meningkatnya
suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti
naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang
ekstrem, serta perubahan jumlah
dan pola presiptas.
Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian,
hilangnya glester,
dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa
hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang
diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan bagaimana pemanasan serta
perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik
di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi
atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah
menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan
emisi gas-gas rumah kaca.
Penyebab pemanasan global
- Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal
dari Matahari. Sebagian besar energi
tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba
permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi.
Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap
di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap
gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi
gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di
permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu
rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya
konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di
bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala
makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat
dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya
telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada
efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh
permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah
berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
- Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi
oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada
penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas
rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan
lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan
gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di
udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah
kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini
meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun
karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara
perlahan-lahan karena CO2 memiliki
usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek
penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali
radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan.
Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar
Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek
pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan
tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian
awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim,
antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara
batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km
untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun
demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan
umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model
yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya
kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika suhu
global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang
terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di
bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan
cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap
lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan
lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafros) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu,
es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik
positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan
berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat
nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan di atom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
Variasi Matahari
Terdapat
hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat
oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan
akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah
kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling
tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas
Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut
terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan
dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari
masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa
kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan
dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin
telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama
periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa
model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan
terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka
juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat
juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan
dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun,
sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini
disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka
tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari
pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil
sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir.
Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah
penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi
dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
Mengukur pemanasan global
Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa
membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat
meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini
dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program
penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel
atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan
konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer
terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang
terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuwan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin
menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu
terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi
lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang
menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir
1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data
statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Satasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran
suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan
dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957,
data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari
perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat,
terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang
lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi
benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh
tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan
tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling
panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1
derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama
disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer.
IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun
konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap
terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun
atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para
ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat
hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era
industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun
sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang
sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang
sangat besar.
Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global
berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan
fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa
penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini
memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang
lebih hangat. Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah
kaca pada masa depan, sensitifitas iklimnya masih akan berada pada
suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian
terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan
pemanasan sekitar 1.1 °C
hingga 6.4 °C (2.0 °F
hingga 11.5 °F) antara tahun
1990 dan 2100. Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki
penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan
perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab,
baik alami maupun aktivitas manusia.
Model
iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu
global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi
semua aspek dari iklim. Model-model ini tidak secara pasti
menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945
disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka
menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang
dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung
iklim pada masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca,
biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emission Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan
simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya
menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti
(untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan
200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa
umpan balik positif.
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang
menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini,
walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah
model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.
Dampak pemanasan global
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari suhu,
pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global.
Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan
mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar
dan kesehatan manusia.
Iklim
mulai tidak stabil
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan
global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere)
akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es
akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di
perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan,
mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis,
bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair.
Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembap karena
lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin
apakah kelembapan tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh
lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya
akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan
tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak,
sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan
proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembapan yang
tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk
setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah
meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih
sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa
daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih
kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)
yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar.
Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin
mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
Peningkatan
permukaan laut
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan
lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan
tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub,
terutama sekitar Greendland, yang lebih
memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah
meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan
IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada
abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi
kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan
6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan
bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir
akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan
menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan
negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan
sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan
menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun.
Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
Suhu
global cenderung meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat
akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini
sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari
lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan
pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat
tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung
yang jauh dapat menderita jikasnowpack (kumpulan
salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair
sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami
serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Gangguan
ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit
menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai
manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub
atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari
daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan
menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau
selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan
mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju
kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak
sosial dan politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
panas (heat stroke) dan kematian.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul
kelaparan dan mulnitrisi. Perubahan cuaca yang
ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara
dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam
(banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana
alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit,
seperti: diare, mulnitrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases).
Seperti meningkatnya kejadian demam berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini
berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies
vektor penyakit (eq Aedes aegypti), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih
resisten terhadap obat tertentu yang target nya adalah organisme tersebut.
Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah
akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini.
hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak
kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang /
kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran
limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne
disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang
tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit
saluran pernapasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
Perdebatan tentang pemanasan
global
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan
akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah
suhu benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi
tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang
keadaan pada masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti
yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen
bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan suhu. Mereka juga menunjukkan
fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa
daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global
cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi
model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim.
Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad
ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an.
Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang
diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer
terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya
pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad
disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa
luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena
adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata
tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh
lautan. Para ilmuwan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup
data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S.
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisis baru
tentang suhu air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50
tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan
pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius
(0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit
perubahan tetapi cukup berarti.
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit
mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model.
Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan
pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan
Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National
Academy of Sciences untuk
membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat
diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari
prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang
dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah
pemanasan global pada masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi
efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin
berubahnya iklim pada masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai
cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk
mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di
pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti
Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga
koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan
ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang
koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin
bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke
atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain.
Cara ini disebut carbon
sequestration (menghilangkan
karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan
karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon
dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi.
Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida
yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level
yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit
sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang
lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah
untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam
mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara
langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke
sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan
untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan
batubara atau aquifer. Hal
ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang
terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan
diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke
permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah
pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat
pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumipada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa
digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar
fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon
dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih
sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan
batubara. Walaupun demikian, penggunaan emergi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir,
walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya,
tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
Persetujuan
internasional
Kerjasama internasional diperlukan untuk
mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Jeneiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah
kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang
mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan
persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan,
menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling
besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke
tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai
paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk
melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga
7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan
perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa
122 negara lainnya, sebagian besar Negara berkembang, tidak diminta untuk
berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut
menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa
negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon
dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apabila negara-negara
industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca
pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika
tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian
ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah.
Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit
mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu
tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara
berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari
emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang
sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan
perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar
fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk
melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama
disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa
biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang
lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke
peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang
ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah
dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit
dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis
besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam
polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon
dioksida.
Setelah
tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara
reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti
peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk
memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang
memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan
menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara
yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit
polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia,
merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada
tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat
tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di
bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke
negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.